Saya waktu itu liat promo buku ini dengan caption yang menarik perhatian:
Perceraian memang merupakan tema yang jarang kita bicarakan, meski sebenarnya sangat penting. Saya yakin hampir semua ikatan pernikahan pernah melahirkan wacana perceraian, apapun alasan dan latar belakangnya. Kalau boleh menggeneralisir, semua orang yang menikah pasti pernah berpikir untuk bercerai, kan? (halaman vi)
Saat itu saya tidak sedang berpikir untuk bercerai, tapi penasaran dengan generalisasi itu. Karena saya memang pernah berpikir tentang perceraian. Suami dulu juga pernah cerita kalau dibenaknya pernah terlintas untuk bercerai. Nah saya mau tahu apakah semua pasangan yang sudah menikah benar-benar pernah ada pikiran untuk bercerai? Jadilah saya ikut pre ordernya.
Anatomi buku
Judul : Cerita Sebelum Bercerai
Penulis : Fahd Pahdepie
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2020
Jumlah halaman : xii + 241
Dimensi : 13,5 cm x 20,5 cm
Harga normal : Rp. 79.000
Setelah baca buku ini sampai selesai, saya merasa kurang puas. Honestly tadinya saya berharap ada penelitian atau data-data ilmiah yang bisa menjawab rasa penasaran saya. Penulis hanya menggambarkan generalisasinya berdasarkan ini:
Dalam kasus pernikahan saya, pikiran untuk bercerai sudah datang di bulan-bulan pertama pernikahan kami. Menguat di tahun pertama. Menghebat di lima tahun berikutnya. Dan ternyata kadang sesekali muncul meski sekarang sudah menikah selama sepuluh tahun. Saat saya bertanya pada orang-orang yang sudah menikah lebih lama, konon pikiran itu juga sesekali muncul di situasi-situasi tertentu yang berat dan kompleks. (halaman viii)
Ada sih ya sampel data, tapi kurang jelas berapa orang yang penulis tanya. Apakah dari semua orang yang ditanya menjawab "pernah"? Tapi saya tetap review buku ini karena bagaimanapun juga banyak hal yang saya suka dari buku ini.
Dari covernya sudah bikin penasaran sebenarnya. Kata "nasihat" yang dicoret lalu diganti dengan tulisan lebih kecil diatasnya menjadi "cerita". Memang sih ya biasanya orang-orang agak anti dengan kata nasihat. Tapi buku ini isinya memang hampir full cerita, bukan nasihat.
Menurut saya buku ini seperti jurnal harian seorang suami yang mengungkapkan perasaan pada istrinya yang tercinta. Gak ada tentang definisi perceraian, cara bercerai, penyebab perceraian, akibat perceraian atau hal-hal lain kayak hak asuh anak, pembagian harta gono gini. Gak ada. Hahahahah. Buku ini full cerita keseharian suami istri beserta anak-anaknya. Ada juga sedikit tentang cerita cinta ayah dan ibu penulis yang manis dan sederhana.
Jadiiiii... Agak kurang relevan sebenarnya isi dan judul buku ini. Tapi setelah direnungkan lagi bener juga ya kata-kata penulis ini:
Apa yang mencegah saya untuk melanjutkan pikiran-pikiran itu? Apa yang membuat saya dan Rizqa, istri saya, terus bertahan? Lebih sering adalah karena kerelaan untuk menengok kembali apa yang terjadi di belakang. Mengakrabinya perlahan untuk kemudian kita jadikan bahan untuk merenung, berpikir, membebaskan hal-hal buruk yang menjadi rantai besi bagi ego masing-masing.
Lewat cerita-cerita itulah kami bertahan. Untuk melanjutkan cerita lain yang lebih baik, menyempurnakan apa-apa yang kurang di belakang hari. (halaman viii)
Saat kita dalam kondisi marah, kecewa, sedih atau emosi negatif lainnya.. Biasanya sangat berat untuk mengingat kebaikan pasangan kita. Yang diingat adalah keburukannya, padahal pasti pernah ada kebaikan yang dia lakukan untuk kita.
Pas baca cerita ini, saya pribadi merasa kagum terhadap pikiran penulis yang bisa melihat banyak kebaikan istrinya. Yang bisa mengingat kisah-kisah manis mereka sepanjang sepuluh tahun pernikahan. Dan saya cukup terhenyak saat di awal buku ini disuguhi ucapan terima kasih penulis untuk istrinya:
Untuk istriku, Rizqa.
Aku mencintaimu dengan cara menyerahkan kepadamu semua senjata untuk menghancurkanku, menceritakan semua rahasiaku, membuka segala kelemahanku, mengajarimu perlahan-lahan dan untuk waktu yang panjang tentang bagaimana cara membuatku sakit, terluka, bahkan tak bisa menyembuhkannya lagi... sampai aku mati.
Aku mencintaimu dengan cara membuatmu sangat kuat, begitu kuat sehingga aku tak berdaya dalam pelukanmu. Apalagi di dalam pengertian dan kasih sayangmu.
Selamat ulang tahun pernikahan ke-10. (halaman iii)
Itu kata-kata buat istrinya, kenapa saya yang meleleh ya? Wkwkwk. Gombalannya jleb banget itu. Membuat yang baca sadar kalau pasangan kita itu bisa menjadi musuh yang paling kuat bagi kita. Kebayang? Pasangan kita tau seluk beluk tentang kita. Dia tau apa yang bisa membuat kita menangis, tersenyum, marah.. Dia bisa mengendalikan emosi kita. Semua informasi pribadi kita bahkan yang paling rahasia, dia tau.
Jadi inget hadits Rasulullah SAW, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya." Orang-orang di tempat kerja bisa melihat kita sebagai orang yang baik. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan bisa menganggap kita adalah orang yang ramah. Orang-orang yang berkomunikasi dengan kita di dunia maya bisa kagum dengan inspirasi postingan-postingan kita. Tapi, istri atau suami kita itu penilaiannya paling valid. Kalau di rumah, kita adalah orang yang "brengsek", kasar, suka mengumpat, dll, gak peduli sebaik apa penilaian orang di luar.. Menurut hadits berarti ya gak baik.
Dan saat hal itu terjadi, pasangan kita bisa menjadi musuh terbesar kita di akhirat. Pasangan kita yang paling tau kebusukan kita. Dan dia akan membongkar itu di hadapan Allah, hakim tertinggi penguasa segala hukum semesta. Gak usah jauh-jauh deh. Coba baca atau dengar cerita suami/istri saat sidang perceraian. Segala keburukan pasangannya di bongkar di pengadilan agama. Gak tau itu cerita asli atau buatan untuk mendapatkan surat cerai.. Tapi meski buatan, di akhirat nanti gak bisa bohong lah ya. Pasti ketauan mana yang benar mana yang salah.
Kembali ke buku ini, banyak hal yang bisa saya pahami
Pernikahan memang tak pernah menjadi sesuatu yang mudah dan biasa-biasa saja. Jika Anda mencari kebahagiaan dengan menikah, mungkin Anda salah. Pernikahan hanya akan memberikan Anda kebahagiaan yang pendek. (halaman 2)
Cinta yang sadar adalah cinta yang mengerti bahwa segalanya tidak akan berjalan mulus-mulus saja, bahwa saling mengerti adalah formula terbaik untuk saling menerima, bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. (halaman 3)
Jika kau ingin bahagia dalam sebulan, nikahi orang yang kau cintai. Jika engkau ingin berbahagia untuk selama-lamanya, bahagiakan orang yang kau nikahi. (halaman 7)
Jika Pernikahan adalah Sebuah Rumah
Ibarat membangun sebuah rumah, pernikahan lebih sering tentang dua orang yang membawa puing-puing masa lalunya masing-masing.
Jangan membayangkan dua orang ini membawa seluruh material baru yang mereka siapkan sedemikian rupa, yang mereka beli dari toko-toko bangunan mewah, agar rumah mereka kelak menjadi indah dan sempurna. Sebab, seperti dalam kebanyakan kasus, dalam sebuah proyek pernikahan, yang akan mereka pertukarkan satu sama lain adalah apa-apa yang sudah ada dan melekat pada sejarah hidup mereka sendiri. Dan sejarah adalah tentang masa lalu: Bisa berupa monumen kemenangan yang mungkin usang, atau reruntuhan-reruntuhan kekalahan.
Dari sana dan dengan semua itulah rumah pernikahan dibangun. Fondasinya digali dari luka-luka masa kecil atau masa remaja. Temboknya didirikan dari batu bata perasaan yang kadang sedih, gelisah, optimistis, bahagia, atau sesekali terlalu percaya diri. Jendela dan pintu-pintu dipasang dengan rasa takut atau rasa kesepian. Sementara atapnya disusun dari genteng-genteng yang mungkin retak karena pernah dikecewakan atau dikhianati. (halaman 10-11)
Cerita yang paling saya suka sih tentang jika pernikahan adalah sebuah rumah, masih panjang itu tapi saya cape ngetiknya. Wkwkwk. Bagian ini menyadarkan saya untuk berhati-hati membekali anak agar nanti dia membawa puing-puing yang terpilih saja untuk keluarga barunya saat dewasa dan menikah. Ada juga cerita tentang mendidik anak laki-laki , terus saya juga meleleh saat penulis menceritakan kebiasaannya membeli bunga untuk sang istri yang ditiru oleh anak-anaknya. Pokoknya saya sebagai wanita dibuat terpukau oleh kata-kata penulis untuk istrinya di buku ini.
Jika nanti pikiran itu datang lagi, secara sungguh-sungguh atau sekadar menggoda, temukanlah cara untuk mengingat semua cerita yang pernah kalian upayakan bersama... (halaman 237)
Nah di sini saya pribadi ingin menekankan pada "cerita yang pernah kalian upayakan bersama" itu. Cerita itu harus diupayakan. Jadi kita harus banyak membuat cerita yang bisa dikenang sebagai memori indah bersama pasangan. Bayangkan... Kalau kita tidak ada usaha untuk itu, bisa-bisa saat retrospeksi untuk melakukan introspeksi malah banyak kenangan buruknya yang berkelebat. Kan bahaya tuh..
Lalu saya juga ingin menggarisbawahi kata-kata penulis di kata pengantarnya:
Semua orang sebenarnya tahu perceraian itu buruk, baik secara agama maupun sosial. Siapa sih yang mau bercerai? Siapa yang mau kisah cintanya berantakan? Siapa yang mau rumah tangga dan kebersamaan keluarganya berakhir? Saya yakin tidak ada. Tetapi toh semua orang menghadapi persoalannya masing-masing dengan konteks dan kompleksitas yang berbeda-beda.
Melalui buku ini, saya tidak hendak mencegah orang bercerai, apalagi melarangnya. Saya juga tidak sedang memberi tahu bahwa perceraian itu begini dan begitu. Saya tidak tertarik untuk menilai, men-judge, apalagi melabeli ini dan itu pada situasi yang dihadapi orang lain. Silahkan saja Anda pikirkan dan rasakan sendiri, Anda yang paling tahu dan mengerti situasi Anda sendiri, Anda pulalah yang berhak memutuskan, sebab Anda adalah tuan bagi diri Anda sendiri. (halaman vii)
Saya suka banget kata-kata itu. Karena saya setuju dengan pendapat penulis bahwa setiap orang menghadapi persoalannya masing-masing dengan konteks dan kompleksitas yang berbeda-beda. Bagi saya pribadi perceraian itu seperti menikah, bisa jadi haram, sunnah, atau wajib. Tergantung konteksnya untuk siapa.
Bagi pemuda yang memang belum mampu menikah dan punya penyakit menular berbahaya misalnya, tentu haram baginya menikah sampai dia sembuh dulu daripada maksain kan kasian calon istrinya nanti bisa ketularan, jadi menzholimi orang lain. Bagi yang mampu sehat lahir batin dan sudah bisa menyediakan nafkah, bisa jadi sunnah. Bagi yang memang tidak bisa menjaga kemaluannya, daripada berzinah atau memperkosa misalnya, bisa jadi wajib. Tapi sebenarnya Allah dalam Al-Qur'an sudah menawarkan puasa sebagai benteng pertahanan kalau memang belum mampu untuk menikah. Puasa itu bisa menjaga nafsu manusia. Makanya saya gak pernah nanya-nanya ke temen yang belum nikah "Kapan nikah, kapan nikah?" atau sindiran sejenis itu. Ya mungkin memang belum waktunya saja.
Begitupun tentang perceraian ini. Dalam Islam diperbolehkan. Bahkan diatur sedemikian rupa tentang perceraian ini. Kalau gak boleh, ngapain Allah cantumin di Al-Qur'an? Bahkan di Q. S. An-Nisa ayat 130 Allah bilang "Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya), Mahabijaksana."
Ayat ini mengingatkan manusia kalau yang kasih rizki itu Allah lho, bukan pasangan kita. Kalau Allah sudah berkehendak memisahkan sepasang suami istri ya jadilah. Makanya saya juga gak pernah nanya-nanya kepo ke orang-orang yang bercerai "Kenapa pisah? Kok gini? Kok gitu?". Saat ada yang nyinyir ke Ahok atau Prabowo misalnya, waktu dulu kan rame tuh nyindirin gak bisa mempertahankan istri, mana bisa ngurus provinsi atau negara. Saya gak mau ikut-ikutan. Karena pernikahan saya yang masih bertahan sampai saat ini pun hanya keberuntungan saja, Allah masih menghendaki saya dan suami bersama.
Perceraian bisa jadi wajib buat mereka yang ternyata pasangannya suka "jajan" di luar atau memiliki kelainan seksual yang bisa menyebabkan penyakit menular. Atau misalnya ada KDRT, please love your self. Jangan bertahan kalau ternyata beban fisik atau emosi bisa menyebabkan penyakit mematikan atau kematian. Tapiii, bisa jadi haram kalau alasannya "Udah gak ada rasa lagi, gimana dong?" 😅
Bisa kan cari alasan lain yang agak lebih rasional dan dapat diterima gituh? Rasa itu bakal balik lagi kalau kita usaha. Usaha maksimal. Bagi saya cinta itu hanya emosi. Bisa tiba-tiba hilang, lalu muncul lagi tak diundang. Bisa dimunculin kalau ada upaya bersama. Timbul saat suami lagi baik, tenggelam saat suami lagi nyebelin.
Intinya kita hanya bisa berusaha, dan itu harus. Harus ada usaha bersama untuk mempertahankan. Tapi tetap segala ketetapan dan ketentuan ada di tangan Allah. Barakallah untuk penulis yang sudah melewati 10 tahun usia pernikahannya. Saya do'akan semoga rumah tangganya senantiasa dilindungi Allah. Juga untuk para pembaca yang sudah menikah, semoga rumah tangga kita semua selalu dijaga oleh Yang Maha Membolak-balikan Hati. Buat yang belum menikah, baca buku ini biar tergambarkan lebih jelas suka duka pernikahan tuh kayak gimana.
Yang mau denger review ini di podcast bisa klik disini
Menarik sekali isinya, saya jadi pengen punya juga bukunya. Biar jadi pengingat kalau suatu saat, karena kondisi yang di rasa berat, lalu terlintas "pengen cerai deh rasanya"
ReplyDeleteIya bener mbak. Tapi ternyata pikiran itu wajar, sama wajarnya seperti perselisihan yang pasti ada dalam setiap rumah tangga. Justru jadi bumbu yang setelah konflik berakhir kita bisa lebih dekat dan tahu tentang pasangan kita. Buku ini udah ada di toko-toko buku. 😉
DeleteHai, Kak ... Aku ikutan meleleh lho baca kalimat demi kalimat penulis untuk istrinya. Tapi Fahd Pahdepie memang piawai ya memainkan kalimat agar terdengar indah di telinga.
ReplyDeleteSetuju juga, bahwa perjalanan indah dalam pernikahan itu harus diupayakan bersama. Namanya dua kepala yang berbeda, mencapai tujuan yang sama kalau nggak saling mengupayakan tentu sulit bisa berharap akan berhasil.
Iya bener. Itu seni pernikahan yang harus terus dipelajari, harmonis itu kan kalau nada-nada yang berbeda bisa terdengar jadi indah. Kebayang kalau isi kepala sama persis, monoton kan kalau nada yang dimainkan sama. Dua kepala jadi satu pasti ada konflik, tapi itu yang menjadikan cerita pernikahan tiap pasangan jadi menarik. 😆
DeleteAamiin Allahumma aamiin untuk do'a di paragraf terakhir. Saya baca reviewnya saja hampir mewek dibeberapa bagian mbak. Dan memang sih, saya tipe orang yang paling anti nasihat kalau saya ga minta XD kecuali nasihatnya tersirat dalam bentuk cerita sih. Mas Fad ini aku kebetulan follow dia di IG dan sering sekali sepakat dengan pemikiran-pemikiran beliau. Tapi belum pernah beli dan membaca buku karangannya sih.
ReplyDeleteIya, aku juga baca buku ini berkaca-kaca, tapi ga nyampe basah bukunya. Sayang ntar kertasnya rusak kena air mata aku. Wkwkwk. Keren deh ini bukunya. Cerita-ceritanya bikin retrospeksi cerita aku dan suami. 😉
DeleteBener, Mbak. Pasangan normal nggak akan berpikir untuk bercerai ketika menikah. Tapi dalam perjalanannya banyak faktor yang bisa menyebabkan perceraian. Mempertahankan pernikahan tidak selalu merupakan jalan terbaik. Pada banyak kasus, bertahan justru memakan korban. Dari korban perasaan, fisik, sampai nyawa.
ReplyDeleteJustru berpikir untuk bercerai itu normal. Kan udah nikah, jadi normal aja kalau berpikir untuk bercerai. Yang paling penting saat terlintas hal itu, gimana caranya kita bisa mengingat kembali cerita-cerita indah sepanjang perjalanan pernikahan. Dan upaya bersama untuk lebih banyak mengukirkan cerita indah ke depannya. Itu bisa jadi rem buat otak saat terlintas ingin bercerai. Tapi di beberapa kasus memang perceraian bisa jadi jalan keluar yang sangat menyelamatkan. Tiap orang bisa menilai sendiri masalahnya masing2 kan. Mana yang terbaik bagi dirinya. Yang terpenting hargai diri kita terlebih dahulu. Kalau udah bisa self respect kita bisa menilai dengan lebih logos/rasional terhadap suatu permasalahan termasuk apakah masih layak sebuah pernikahan dipertahankan atau tidak.
DeleteAku tahu persis senormal apa :)
DeleteTerbaik. 👍🏼
DeleteBaca review ini bikin perasaan teraduk. Sebisa mungkin mennagkis lesatan pikiran yang tidak baik, karena ingin menikah bisa bahagia seterusnya. Apalagi sudah ada anak-anak. Mungkin cerai akan lebih gampang jika tidak memiliki anak. Naudzubillahimindzaalik semoga rumah tangga kita semua langgeng dalam kebahagiaan.
ReplyDeleteAamiin. Tidak ada yang ingin rumah tangganya berantakan mbak. Cerita-cerita dalam buku ini mengajak kita untuk mengingat moment-moment indah dengan pasangan yang bisa menyadarkan kita untuk lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan. Aamiin ya rabb, semoga kita dan pasangan bisa saling membahagiakan. ☺
DeleteIya Mbak, cerainitu sungguh sakit
DeleteSaya belum pernah mengalami. Hanya bisa berempati. Dari banyak cerita yang saya dapatkan tentang perceraian, ada yang memang terasa menyakitkan, tapi ada juga yang malah melegakan. Tergantung kondisi tiap orang yang berbeda-beda.
DeleteKayaknya memang ga nyambung dengan judulnya ya..hm tapi bener juga sih bisa dikasih judul begitu kwkw
ReplyDeleteDan aku paling suka yang ini:
Jika kau ingin bahagia dalam sebulan, nikahi orang yang kau cintai. Jika engkau ingin berbahagia untuk selama-lamanya, bahagiakan orang yang kau nikahi
Reminder ino buat aku yang dah menikah hampir 18 tahun
Mungkin lebih tepat judulnya Catatan Harian Seorang Suami. Wkwkwk. Mudah-mudahan kita dan pasangan bisa saling membahagiakan ya. Saling menyakiti wajar lah. Tapi mudah-mudahan lebih banyak saling membahagiakannya. 😁
DeleteSetelah membaca ini, saya merasa bukunya bagus untuk dibaca oleh pasangan-pasangan menikah. Saya jadi tertarik, sepintas membaca ini seperti refleksi diri, betul dalam menjalani hampir 5 tahun pernikahan sayapun sering terpikir untuk bercerai, sulit memikirkan kebaikan2 pasangan saat sedang marah dan kesal. Semoga keluarga kita tetap dijagakan oleh Allah ya mbak, diberikan jalan terbaik dan tetap diberikan kesabaran dalam membangun rumah tangga bersama pasangan ❤️
ReplyDeleteSaya sangat suka dengan pemikiran2 beliau pada buku ini ☺️
Thank you mba udah sharing. Jadi sebenernya it's ok kalau kita pernah berpikir begitu. Yang penting adalah perjuangan untuk retrospeksi perjalanan kita selama menikah. Aamiin, semoga dijaga ya.. 😊
Deletesaya setuju mbak. Harus ada usaha bersama untuk mempertahankan sebuah pernikahan.Bukan hanya usaha istri atau pun suami
ReplyDeleteIya mba, kalau hanya salah satu saja kayak masih single dong ya. Kalau udah nikah kan harus saling. Meski mungkin harus ada yang lebih dulu memulai meminta maaf, berterima kasih, ngajak ngobrol lagi, ngajak bercanda lagi. Begitulah, ribet ya sebenernya pernikahan tuh. 😆
DeleteMenarik ya bukunya suami begitu mencintai istrinya, duh penasaran di toko buku
ReplyDeleteUdah ada di toko buku ko mba.
DeleteJadi ingat nasihat Aa Gym yang bilang kekurangan pasangan kita merupakan ladang pahala
ReplyDeleteSehingga emosipun bisa reda lagi
Iya, istri itu ujian bagi suami. Suami itu ujian bagi istri. Ujian untuk mengalahkan ego masing2, dan itu ujian yang gak gampang, gak bisa nyontek juga karena pasangan kita punya karakter yang berbeda dari orang lain. Subjektif banget ujiannya. Hihihi.
DeleteMengaamiinkan kalimat akhirnya. Tidak ada yang mau pernikahannya berakhir dengan perceraian. Konon katanya cerai hidup itu lebih menyakitkan daripada cerai mati.
ReplyDeleteKalau cerai mati itu sakitnya karena kita merasa kehilangan yang memang gak akan balik lagi kecuali kalau dipertemukan kembali di akhirat. Kalau cerai hidup menyakitkannya kita masih bisa ketemu tapi udah gak bisa berinteraksi sebagai suami istri. Kasuat-suat kalau masih hidup mah ya.
DeletePerceraian adalah hal terburuk dalam hidupku. Semoga yg baca tulisan di blog ini tidak mengalami hal yang sama. Kalau ditanya alasannya pisah kenapa, saya juga tidak menginginkannya. But again, kita tidak punya kuasa sedikitpun untuk bisa meneruskan pernikahan atau tidak.
DeleteBagaimanapun juga perceraian adalah salah satu takdir yang harus dilalui oleh beberapa pasangan suami istri. Yang kuat ya Mbak. Insya Allah selalu ada hikmah di setiap kejadian termasuk perceraian. Hal terburuk itu akan menjadi kekuatan terbesar Mbak dalam kehidupan. #peluk
DeleteBaru baca ulasannya aja jadi membuat hati memang harus mantap banget untuk mengarungi bahtera rumah tangga, karena di saat itulah dimulainya kehidupan baru ya. Coba tambahkan foto ilustrasi kak, biar makin makjleb
ReplyDeleteGak baru sebenernya. Tapi menyatukan dua orang dengan sejarah hidup yang berbeda. Kehidupan lama yang harus dilanjutkan dengan menyesuaikan bersama orang yang punya masa lalu juga. Hihi. Foto ilustrasi kayak lope yang retak gitu ya? Nanti deh nyari dulu. Ada copyright di beberapa gambar yang di google kan ya..
DeleteKirain Fahd Pahdepie tuh hidupnya mulussssss ngga ada gronjalan sama sekali :)
ReplyDeleteOalaahh, ternyata tiap rumtang pasti ada badai dan kerikilnya ya.
Mantuuull nih bukuya :)
Iya bagus banget ini, jadi sebenarnya menyadarkan kalau setiap rumah tangga tuh gak ada yang mulus-mulus aja. And it's okey. Normal malah. Justru kalau rumah tangga sama sekali gak ada masalah atau sama sekali gak pernah berantem malah aneh yaaa.. 😆
DeleteBercerita memang adalah seni menasehati yang baik, bukan hanya kepada anak, tapi juga orang dewasa, eh terlebih orang dewasa.
ReplyDeleteSuka bukunya pengen beli, tapi takut baper, takut membandingkan dengan pak suami yang sama sekali nggak ekspresif terhadap perasaannya hahaha
Pasti sih ada jadi membandingkan. Tapi kita malah lebih diajak buat mengingat kebaikan pasangan dan mencintai dengan meskipun. Meskipun pasangan aku blablabla.. Gitu lah, jadi malah berkaca-kaca juga mengingat kalau pasangan kita tuh ada baiknya lho.. 😉
DeleteBukunya menarik nih buat bacaan pasangan pejuang rumah tangga. Benar adanya ga ada perjalanan rumah tangga yang mulus mulus tanpa masalah. Tinggal lagi gimana pasangan bisa saling mengerti satu sama lain buat mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah
ReplyDeleteIya bener banget. Saat kita sadar kalau ada hal yang gak mulus pada kehidupan rumah tangga kita, jadi lebih berhati-hati saat hendak mengambil keputusan penting..
Deletebukunya bener2 mewakili perasaan semua dalam hidup berumah tangga ya,masih penasaran dengan isi lengkap cerita bukunya, bsok cuzz cari ah di toko buku
ReplyDeleteYupz. Udah ada di toko-toko buku katanya.
DeleteKalau saya beli buku ini, bakalan banyak "kata mutiara" yang bisa saya copy dan jabarkan dalam kehidupan berumah tangga. Secara meski terlihat adem ayem, sejatinya masalah itu selalu muncul.
ReplyDeleteHanya takdir Tuhan saja yang menentukan jika sampai saat ini suami istri masih bisa mempertahankan rumah tangganya.
Iya, bener banget. Kita cuman bisa berusaha, dan berdo'a.. Masalah pasti akan selalu ada, namanya juga hidup.
DeleteBuku yg bagus..
ReplyDeleteDan memang sih tdk ada pernikahan yg tak punya masalah..
Masalah bs jadi akan semakin menguatkan ikatan pernikaha itu sendiri
Betul, setelah kita berhasil menyelesaikan suatu masalah, kita bisa jadi lebih dekat dengan pasangan. Karena tiap masalah Allah sediakan solusinya.
DeleteSaya selalu suka penuturan Fahd, baik dalam buku fiksi maupun nonfiksi, bahkan channel youtubnya saya suka.
ReplyDeleteKata-katanya mak jleb dan khas.
Sejujurnya saya juga sering terlintas pikiran untuk berpisah dengan suami. Bahkan, sudah pernah berpisah untuk waktu yang lama delapan tahun yang lalu meski tak sampai bercerai. Namun, benar, perceraian bahkan lebih rumit dari pernikahan.
Alhamdulillah, badai telah berlalu. Semoga kami tetap kuat meski rumah puing kami pernah retak. Ah, jadi pengin punya bukunya mbak.
Thank you sharingnya mbak. It's ok saat kita berpikir tentang perceraian, yang penting masalahnya bisa terselesaikan dengan baik dan membuat kita jadi lebih solid dengan pasangan. Aamiin, semoga Allah menjaga agar bisa bersama sehidup sesurga ya mbak..
DeleteAamiin.
DeleteJika ingin mengeluh tentang pasangan, tak ada habisnya hari-hari ini berisi keluhan. Namun, kita punya pilihan dalam memakai kacamata dan sudut pandang. Sebab tak ada manusia yang sempurna, begitupun diri kita yang banyak kekurangan selain punya kelebihan.
Betul sekali mbak. Semuanya kembali pada sudut pandang masing-masing. Dan kita punya pilihan untuk bahagia di hari-hari kita. 😉
DeleteSelalu suka dengan tulisan Fahd Pahdepie. Tapi aku belom pernah baca buku ini. Jadi penasaran deh. Fyuh, saya jadi inget masa dingin dengan suami. Pernah hampir bercerai, tapi alhamdulillah semua berlalu. Anak-anak menguatkan kami. Kudu baca nih buku ini.
ReplyDeleteThank you sharingnya mbak. It's normal berpikir tentang hal ini. Yang penting setelah masalah terselesaikan kita jadi lebih solid dengan pasangan ya.
DeleteLangsung mengaminkan pas di bagian ini:
ReplyDelete"... Cinta yang sadar adalah cinta yang mengerti bahwa segalanya tidak akan berjalan mulus-mulus saja, bahwa saling mengerti adalah formula terbaik untuk saling menerima, bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. (halaman 3)
Menuju 27 tahun pernikahan, bagian inilah yang paling dominan, "Kebahagiaan memang harus diperjuangkan!"
Masya Allah. 27 tahun dan semoga bisa sehidup sesurga ya mbak sama pasangan. Perjuangan itu tidak mudah, tapi itulah seni sebuah pernikahan. Gak menikah juga harus berjuang, menikah tentu perjuangannya lebih besar. Perjuangan mengalahkan ego masing-masing itu sesuatu yang wow banget. Susahnya bener-bener. Mengalahkan diri sendiri itu memang tidak mudah. 😣
DeleteKata sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib, jangan mengambil keputusan ketika sedang marah jangan membuat janji ketika sedang senang. Demikian juga saat hasrat ingin bercerai itu muncul tiba-tiba. Kadang itu bisikan setan saja. Semoga rumah tangga kita jauh dari kata perceraian. Amin.
ReplyDeleteAamiin.. Iya betul, kita harus berpikir jernih. Saat marah pikiran kita sedang dalam kondisi sangat keruh. Makanya kalau saya lebih milih diem saat marah, kalau ngomong pasti kata2 saya bikin sakit hati. Cuman tetap harus dikeluarkan, biasanya saya tuliskan isi kepala saya saat marah, nanti setelah reda saya baca kembali, analisis masalah, dan memikirkan solusi dalam kondisi tenang.
Deletekayak pernah denger Fahd Pahdepie. siapa ya
ReplyDeletekalaupun bercerai, gak bisa 1 orang yang disalahkan.
melainkan keduanya
pasti ada celah kesalahan di antara keduanya
harus bisa instropeksi diri
dan harus mau saling mengalah
Penulis mbak.. Beliau sudah ada beberapa buku sebelum ini. Tapi saya baru baca buku ini. Buku sebelumnya belum baca. Hehehe.
DeletePernikahan ibarat gerbang kehidupan paling nyata ya mbak, semoga langgeng terus untuk yang sudah berumah tangga
ReplyDeleteIya, bahkan disebut setengah agama dalam Islam. Karena karakter asli kita bakalan muncul di mata orang yang sama sekali asing awalnya (selain ortu, saudara,dan keluarga kita yang tinggal serumah sebelum nikah). Masalahnya ortu kita udah hidup sama kita semenjak lahir, tapi pasangan kita bisa shock saat melihat suatu hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan di keluargannya. Aamiin..
DeleteWah, sounds so interesting, Mba. Dan isiny anti mainstream ya? Perlu dibaca oleh setiap pasangan deh ini, sebagai pengingat dan pembelajaran incase suatu hari nanti berhadapan dengan situasi yang menghadirkan wacana perceraian.
ReplyDeleteNice review, Mba. Thanks for share!
Sama-sama Mba Al. Betul, sangat menarik. Terutama kesadaran kita untuk menuliskan di buku khusus kebaikan-kebaikan pasangan kita setiap harinya. Agar kita bisa baca lagi dan mengingat dengan mudah kebaikan pasangan saat wacana itu muncul..
DeleteMenarik juga ya bukunya.. Bacaan wajib buat pasangan suami istri nih.. Biar bisa jadi referensi dalam mempertahankan RT
ReplyDeleteIya mba. Bagus buat dibaca sama suami dan istri.
DeleteMenarik. Kuterpukau membacanya. Penulisnya jujur.
ReplyDeleteDan kumeleleh di bagian
Aku mencintaimu dengan cara menyerahkan kepadamu semua senjata untuk menghancurkanku, menceritakan semua rahasiaku, membuka segala kelemahanku, mengajarimu perlahan-lahan dan untuk waktu yang panjang tentang bagaimana cara membuatku sakit, terluka, bahkan tak bisa menyembuhkannya lagi... sampai aku mati.
Aku mencintaimu dengan cara membuatmu sangat kuat, begitu kuat sehingga aku tak berdaya dalam pelukanmu. Apalagi di dalam pengertian dan kasih sayangmu.
Huhuhu
Iya jujur banget. 😂 Dan ternyata kata-kata itu sungguh punya kekuatan ajaib terhadap hati wanita ya.
DeleteJauh jauh deh wacana itu dari saya hehe
ReplyDeleteSebut kata itu aja serem. Tapi perlu juga belajar dr bulu n cerita spt di buku tu ya. Tq tq
Sebenarnya wacana perceraian sudah ada sesaat setelah akad di pelaminan. Pas mengucapkan sighat ta'lik. Saya sempet kaget lho waktu penghulu meminta suami membaca dan menandatangani sighat ta'lik. Ko, baru akad udah ngomongin tentang talak. Wkwkwk. Tapi setelah dikaji lagi, justru itu bentuk perlindungan untuk perempuan.
DeleteTerharu aq baca nya. Serasa ikut terlibat. Tp aq setuju, harus ada usaha dr ke 2 pasangan jk ingin mempertahankan rmh tga.
ReplyDeleteIya betul. Kalau yang berusaha mempertahankan hanya salah satunya ya susyah lah ya.. 😆
DeletePikiran memang bisa liar kemana-mana dan hanya pemiliknya yang tahu.
ReplyDeleteTermasuk berpikir untuk menyudahi sebuah pernikahan. Tapi memang kembali pada usaha kedua belah pihak ya.
Buku ini harus dibaca untuk lebih membuat pikiran sadar agar mempertahankan sesuatu yg sebelumnya sudah dipilih.
Makasih resensi buku penuh informasinya, mba.
Betul sekali. Pikiran sadar itu sangat penting saat membuat suatu keputusan.
DeleteFahd Pahdepie ini sosok suami yang romantis sekali ya, saya sering baca postingan tentang hubungannya dengan istrinya di FP beliau , termasuk cerita tentang kebiasaanya memberikan bunga untuk istrinya Rizqa dan ternyata itu juga diangkat dalam bukunya ini. Jadi penasaran baca buku terbarunya ini.
ReplyDeleteIya, wkwkwk. Pujangga cinta. Hihi.
DeleteSenang sekali saya bisa mampir ke tulisan ini. Beberapa waktu ke belakang, promo buku ini berseliweran sekali dan akhirnya saya baca review lengkapnya pertama kali di sini. Terima kasih banyak.
ReplyDeleteIya promonya keren bikin orang penasaran. Hehe. Sama-sama mbak.
DeleteMenurut pembaca apakah buku ini recommended untuk diberikan ke teman sbg kado pernikahan yg baru saja menikah?
ReplyDeleteIya saya merekomendasikannya. Paling yang dikasih kado kaget sekejap saja. Kalau baca dalemnya justru sangat sesuai bagi yang baru menikah. Kasih aja warning di awal: Don't judge the book from the cover. 🤭
Delete